Oleh: Muhammad Rifqi
Ibu
Ketika ujaran berupa kalimat-kalimat kebencian ku limpahkan padamu, engkau tetap bisa menangis merindukanku yang kini tak lagi tinggal bersamamu.
Engkau masih memikirkan apakah aku sudah makan atau belum. Engkau tak bosan-bosannya menanyakan kabarku. Engkau tak henti-hentinya mengingatkanku untuk menjaga kesehatan disaat engkau sendiri dalam keadaan sakit. Engkau bersikap seolah-olah diriku tak pernah menyakitimu. Engkau anggap aku adalah seorang anak yang sangat berharga yang telah memberikan sejuta kebaktian untukmu.
Nyatanya, aku hanyalah menambah beban untukmu. Aku membuatmu menambah pengeluaran berupa biayaku selama aku hidup di tanah rantau. Akan tetapi, engkau senantiasa menganggap hal itu bukanlah suatu masalah yang menyusahkan, melainkan sebagai sumber kebahagiaan dengan caramu yang berbeda.
Rambut putih yang mulai tumbuh dikepalamu membuatku sadar akan semua beban yang engkau pikul demi menafkahi anak-anakmu.
Engkau lupakan semua rintangan berat yang harus kau hadapi demi meraih sesuap nasi untuk anakmu. Sementara engkau bisa bahagia untuk kekenyangan yang aku rasakan walau engkau sendiri dalam keadaan yang sangat lapar.
Betapa letihnya engkau wahai ibu. Kau habiskan sisa usiamu demi merawatku yang tak lagi pantas untuk dimanja.
Setiap saat engaku senantiasa membayangkan tentang bagaimana keadaanku di tanah rantau, sementara aku dengan teganya membuang dirimu dari pikiranku hanya karena tugas yang menumpuk dengan menyalahkan kuliah yang menyibukkan.
Sejatinya, diriku tak pantas kau sebut sebagai anakmu. Dengan mudahnya aku lupakan setiap jeri payahmu dalam merawatku dikala sakit menimpaku, serta dikala rasa sedih melandaku, engkau senantiasa merangkul diriku dalam dekapanmu serya menghiburku.
Disaat pelipur lara yang engkau lakukan demi menghiburku, tak kubayangkan berapa banyak masalah yang engkau pikul.
Betapa lembutnya hati mu wahai ibu
Dalam hening kuberfikir,
Merenungi semua jeri payahmu,
Mengingat akan hari-hari sulit yg telah kau lalui demi membesarkanku.
Ku sita waktu luangmu untuk semua keperluanku yang dengan tanganmu semua hal menjadi siap dan mudah.
Ku sita waktu tidurmu dengan tangisku dimalam hari saat aku masih dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Saat itu aku menambah bebanmu disamping bebanmu yang baru saja mempertaruhkan nyawamu demi melahirkanku ke dunia ini.
Engkau abaikan rasa jijikmu demi membersihkan kotoranku.
Engkau abaikan rasa letihmu untuk menyuapi ku saat aku hanya bisa menangis dalam kelaparan.
Engkau lupakan demam yang menyerangmu demi merawatku saat sakit menimpaku.
Seribu kertas mungkin tak akan cukup mengungkapkan semua rasa terima kasihku padamu.
Ibu, kuharap syurgalah yang menantimu.
Ibu
Ketika ujaran berupa kalimat-kalimat kebencian ku limpahkan padamu, engkau tetap bisa menangis merindukanku yang kini tak lagi tinggal bersamamu.
Engkau masih memikirkan apakah aku sudah makan atau belum. Engkau tak bosan-bosannya menanyakan kabarku. Engkau tak henti-hentinya mengingatkanku untuk menjaga kesehatan disaat engkau sendiri dalam keadaan sakit. Engkau bersikap seolah-olah diriku tak pernah menyakitimu. Engkau anggap aku adalah seorang anak yang sangat berharga yang telah memberikan sejuta kebaktian untukmu.
Nyatanya, aku hanyalah menambah beban untukmu. Aku membuatmu menambah pengeluaran berupa biayaku selama aku hidup di tanah rantau. Akan tetapi, engkau senantiasa menganggap hal itu bukanlah suatu masalah yang menyusahkan, melainkan sebagai sumber kebahagiaan dengan caramu yang berbeda.
Rambut putih yang mulai tumbuh dikepalamu membuatku sadar akan semua beban yang engkau pikul demi menafkahi anak-anakmu.
Engkau lupakan semua rintangan berat yang harus kau hadapi demi meraih sesuap nasi untuk anakmu. Sementara engkau bisa bahagia untuk kekenyangan yang aku rasakan walau engkau sendiri dalam keadaan yang sangat lapar.
Betapa letihnya engkau wahai ibu. Kau habiskan sisa usiamu demi merawatku yang tak lagi pantas untuk dimanja.
Setiap saat engaku senantiasa membayangkan tentang bagaimana keadaanku di tanah rantau, sementara aku dengan teganya membuang dirimu dari pikiranku hanya karena tugas yang menumpuk dengan menyalahkan kuliah yang menyibukkan.
Sejatinya, diriku tak pantas kau sebut sebagai anakmu. Dengan mudahnya aku lupakan setiap jeri payahmu dalam merawatku dikala sakit menimpaku, serta dikala rasa sedih melandaku, engkau senantiasa merangkul diriku dalam dekapanmu serya menghiburku.
Disaat pelipur lara yang engkau lakukan demi menghiburku, tak kubayangkan berapa banyak masalah yang engkau pikul.
Betapa lembutnya hati mu wahai ibu
Dalam hening kuberfikir,
Merenungi semua jeri payahmu,
Mengingat akan hari-hari sulit yg telah kau lalui demi membesarkanku.
Ku sita waktu luangmu untuk semua keperluanku yang dengan tanganmu semua hal menjadi siap dan mudah.
Ku sita waktu tidurmu dengan tangisku dimalam hari saat aku masih dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Saat itu aku menambah bebanmu disamping bebanmu yang baru saja mempertaruhkan nyawamu demi melahirkanku ke dunia ini.
Engkau abaikan rasa jijikmu demi membersihkan kotoranku.
Engkau abaikan rasa letihmu untuk menyuapi ku saat aku hanya bisa menangis dalam kelaparan.
Engkau lupakan demam yang menyerangmu demi merawatku saat sakit menimpaku.
Seribu kertas mungkin tak akan cukup mengungkapkan semua rasa terima kasihku padamu.
Ibu, kuharap syurgalah yang menantimu.
Komentar
Posting Komentar